No Viral No Justice
UraianNews.id, Opini – Bagi kebanyakan orang di negara ini, pasti setuju dengan statement “no viral no justice” artinya, tidak viral tidak ada keadilan. Banyak kasus-kasus yang melibatkan masyarakat kecil yang terbilang miskin dan awam tentang hukum, akhirnya tidak berdaya dengan keadaan yang mereka alami ketika bersentuhan dengan masalah hukum.
Banyak kejadian di sekitar kita, yang terkadang menimbulkan rasa kesal terhadap oknum atau kelompok yang melakukan ketidakadilan, dan rasa empati timbul terhadap seseorang atau kelompok, ketika tau ketidakadilan terjadi menimpa mereka. Beberapa hal yang saling berkaitan, akan coba saya uraikan didalam tulisan ini, sebagai gambaran fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat tentang ketidakadilan.
Apa yang dialami oleh kebanyakan warga terkait ketidakadilan, cenderung merupakan buntut dari segala akar masalah, yang saya sebut dengan 3 (tiga) akar kejahatan yang menjadi sumber dan sebab dari ketidakadilan bisa terjadi. Terkadang saya pun merasa pesimis melihat keadaan saat mencoba melawan ketidakadilan yang seperti tebing curam atau jalan buntu. Tak jarang saya merasa putus asa saat berjuang menerobos ketidakadilan dengan menghadapi “pemilik uang” dan para pemangku jabatan. Saya sempat berfikir, lalu berkata dalam hati “Mungkin seharusnya saya menjadi seorang praktisi hukum, agar bisa berbuat banyak tentang melawan ketidakadilan” Kalimat yang terus terngiang dan berulang didalam hati saya ini, menguatkan bahwa benar hanya dengan niat saja tidak akan cukup. Tetapi saya berfikir, mungkin dengan tulisan seperti ini bisa menjangkau banyak orang-orang diluar sana yang sepemikiran dengan saya. Sehingga suatu hari nanti, ketika orang-orang sepemikiran ini bersatu, semoga saja Ketidakadilan bisa diruntuhkan. Itulah sebab nya hal ini harus disuarakan.
Bila bercerita tentang ketidakadilan, maka mari mulai dari awal, dan saya mengajak kita flashback ke tahun 1998, saat dimana ketidakadilan merajalela. Dari catatan sejarah pada masa itu, jelas terlihat secara nyata ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terjadi diseluruh pelosok negeri. Kala itu, rezim orde baru memerintah dan memegang tampuk kekuasaan. Dimana tahun 1998 adalah masa orde baru berada di ujung kepemimpinannya setelah Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun, dan akhirnya tumbang. Jutaan mahasiwa saat itu turun ke jalan dan menyuarakan 6(enam) tuntutan, yang dikenal sebagai 6 tuntutan reformasi. Yang mana 2 (dua) diantaranya adalah, berkaitan dengan apa yang akan kita bahas selanjutnya sesuai dengan pendahulan dalam tulisan ini.
Dalam pembahasan kita, yang pertama dari enam (6) tuntutan reformasi tersebut adalah agar dihapuskannya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Yang dikenal pada masa itu dengan sebutan yang tenar oleh para aktivis dan mahasiswa disingkat KKN. Dan yang kedua supaya ditegakkannya supremasi hukum.
1.Korupsi
Korupsi menjadi akar kejahatan yang pertama dalam pembahasan kita dari ketidakadilan yang kerap terjadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pada tahun 2000, Word Bank mendefinisikan korupsi, merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi dari World Bank ini menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.
Dari Web, Pusat Edukasi Anti Korupsi, menjelaskan. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Beberpa arti dari asal kata korupsi, sudah bisa menjelaskan dan menggambarkan dengan sangat terang, bagaimana ketidakadilan bisa terjadi. Satu contoh saja, semissal dengan suap, hukum bisa berubah.
Dikalangan Warga Binaan Pemasyarakatan, ada satu kata guyonan saat mengikuti proses sidang ketika menjadi terdakwa. Saat hakim mengatakan kalimat “sidang ditunda” Bagi mereka, para terdakwa, Kata “Tunda” Artinya “tunggu dana”. Ini merupakan candaan, namun kenyataan yang benar-benar terjadi dan sudah menjadi rahasia umum. Bahwa terkadang, hukum bisa dibeli. Dengan niat korupsi oleh para pemangku jabatan, maka uang bisa membenarkan yang salah dan sebaliknya bisa menyalahkan yang benar. Sehingga terjadilah ketidakadilan.
Saya mengajak kita pada sebuah penggalan cerita yang akan menjadi contoh bagaimana ketidakadilan terjadi. Ada oknum Anggota Polisi, yang bertugas di Polres Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara dan pernah menerima sebuah aduan dari masyarakat. Saat ditanya oleh wartawan “mengapa pelaporan warga tidak tuntas untuk ditangani?” Jawab nya berbelat-belit dan terkesan acuh terhadap kasus tersebut. Aduan yang di maksud sudah hampir setahun namun belum ada perkembangan. Ada satu kalimat yang tampak bodoh bagi saya saat mendengarnya. Kata oknum Polisi itu “Surat Keterangan Tanah (SKT) bukanlah bukti kepemilikan tanah” Apakah jawaban dari Anggota Polisi ini merupakan ketidaktahuan atau kesengajaan atau mungkin ada indikasi korupsi seperti yang sudah kita pahami maksudnya dari pembahasan di atas. Dengan dasar apa ia mengatakan hal itu, atas dasar aturan kah, atau kata-kata pesanan komandan. Padahal kita semua tau, kalau yang disampaikan Polisi itu sudah keliru. Saran saya untuk pak Polisi agar belajar lebih banyak lagi, sehingga tidak menimbulkan asumsi buruk tentang dirinya bahkan Polri secara luas oleh masyarakat. Segala cara bisa menjadi halal oleh oknum yang memiliki isi hati yang tertuang dalam satu kata “korupsi”.
Banyak contoh kasus yang karena korupsi, memunculkan Ketidakadilan. Ada yang terselamatkan karena viral, namun tidak sedikit yang jadi korban. Salah satu korban Ketidakadilan pernah dirasakan Muhammad Asrul, wartawan asal Sulawesi Selatan, yang divonis 3 bulan sebab menulis berita tentang dugaan korupsi yang diduga didalangi oleh anak Wali Kota Palopo, pada Mei, 2019 lalu. Miris memang, kita tidak tau lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Saya pribadi meniali kasus ini adalah Ketidakadilan akibat dari salah satu akar kejahatan yang telah kita bahas yakni korupsi. Timbul pertanyaan, Jurnalis menulis berita sebab keprofessionalitasan dan merupakan tugas bagi nya dan sangat jelas hal itu dilindungi oleh Undang-undang. Lalu yang membingungkan adalah para penegak hukum. Jaksa, Hakim dan Polisi. Bukankah mereka ini paham Undang-undang?, atau saat itu tiba-tiba mereka hilang ingatan akan Undang-undang. Parahnya, para penegak hukum yang terlibat dalam penanganan kasus ini, tau betul apa yang sebenarnya harus dilakukan namun seolah ikut aliran yang sudah menjadi sistem penananganan kasus pesanaan. Lagi-lagi uang bisa memutarbalikkan fakta. Di sini sangat jelas ada dugaan korupsi, mengapa penegak hukum tidak menindaklanjuti dugaan korupsi tersebut, malah sibuk menjadikan Muhammad Asrul jadi tersangka dan divonis penjara. Seolah penegak hukum ini ada di bawah tekanan atau masuk dalam sistem yang sudah sejak lama terjadi disana.
Ada lagi kasus pak Lido, warga Kolaka Utara, yang saya sendiri ikut membela beliau terkait ketidakadilan yang dialaminya. Banyak kejanggalan di sana. Ia pernah melaporkan dugaan penyerobotan lahan miliknya yang didalangi oleh korporasi, di Polres Kolaka Utara, namun sampai saat ini tidak satu pun menjadi tersangka. Miris nya, lokasi tersebut malah asik diolah oleh oknum-oknum biadap tanpa memikirkan hak-hak orang lain. Cerita tentang jawaban Polisi ketika ditanya Wartawan, adalah bagian dari cerita ini yang saya singgung di atas. Saya sendiri telah melaporkan ke dumas presisi mengenai aduan Lido ini, namun nihil. Semoga Kapolri mengetahui hal ini dan menindaklanjuti. Kenapa kasus Lido sangat rumit?, ini sudah pasti karena objek permasalahan nya adalah lahan milik pak Lido yang mengandung material tambang. Jelas sudah akar masalah nya apa.
Masih sangat banyak kasus-kasus di luar sana yang berujung Ketidakadilan karena satu kata, “korupsi”. Saat tulisan ini ditayangkan, Lido yang pernah melaporkan penyerobotan lahan miliknya, masih ada dalam tahanan. Orang kecil yang ingin Mempertahan kan hak nya, malah ditahan sebab dituduh mengancam dengan senjata tajam kepada orang-orang yang menyerobot lahan miliknya.
2.Kolusi
Mari lanjut ke akar kejahatan point yang kedua. Mengutip dari Gramedia.com, Secara umum, pengertian kolusi ialah suatu bentuk tindakan berupa persekongkolan maupun permufakatan yang dilakukan secara rahasia dan dilakukan oleh dua orang atau lebih, tujuan dilakukannya persekongkolan tersebut ialah untuk melakukan perbuatan yang tidak baik serta demi mendapatkan keuntungan tertentu. Sementara itu pendapat lain mengungkapkan, bahwa pengertian kolusi ialah suatu bentuk kerja sama yang bersifat ilegal maupun konspirasi rahasia yang memiliki tujuan untuk menipu maupun memperdaya orang lain. Pada umumnya, tindakan kolusi ini akan disertai dengan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah maupun pihak-pihak tertentu demi mendapatkan keuntungan.
Terkait Kolusi, tentu penjelasan di atas sangat jelas. Saya mencoba menceritakan kembali bagaimana kasus pak Lido, yang ditahan karena mempertahankan hak-hak nya. Tentu keterkaitannya dengan Kolusi. Saya pernah ke lokasi tambang dimana pak Lido memiliki lahan. Saat itu bersama rekan-rekan, kami coba menelusuri masalah ini. Kami juga menemui pihak perusahaan dalam hal ini PT. Kasmar Tiar Raya. Ada kesepakatan-kesepakatan yang sebenarnya telah di buat oleh pihak PT. Kasmar bersama pak Lido, namun diingkari atau dengan kata lain, pihak PT. Kasmar, telah melakukan wanprestasi. Berbulan-bulan lama nya kami mencoba menginvestigasi masalah ini. Dengan berbagai kejadian, kejanggalan yang kami temui dilapngan, kami dapat menyimpulkan kalau pak Lido, sedang melawan pemangku jabatan dan sederet orang-orang yang telah melakukan kesepakatan illegal secara tersembunyi/kolusi demi keuntungan pribadi dan kelompok. Dugaan kuat adalah, lawan-lawan pak Lido, telah melakukan persekongkolan demi keuntungan dengan menyingkirkan pak Lido.
Dari kasus Lido, jelas ada indikasi Kolusi. Mulai dari pihak perusahaan sampai penegak hukum, seolah saling berkaitan dan ada hubungan satu dengan yang lain. Akibat hal ini, Ketidakadilan lagi-lagi terjadi, dan kita tau apa akar masalahnya. Tidak lain, persekongkolan/kolusi demi tujuan keuntungan kelompok.
3.Nepotisme
Akhirnya kita sampai pada pembahasan di point terakhir dalam 3 hal yang merupakan akar kejahatan yaitu nepotisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Ada pepatah mengatakan “yang panas yang dekat api” Jika ada hubungan keluarga, hubungan emosional, kedekatan karena kenalan dan lain sebagainya, dalam kasus nepotisme, mereka harus dan wajib didahulukan. Sudah menjadi rahasia umum, kalau menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil atau swasta, saat kebagian jabatan, bukanlah merupakan profesi murni jenjang karir karena kemampuan kerja dan memiliki skil dibidangnya. Melainkan semua itu bisa terjadi jika kamu adalah kenalan nya, atau kerabatnya, atau mungkin kamu telah berkontribusi untuk kantong pribadi pemangku kebijakan. Jika seharusnya ada orang yang bisa bekerja dengan baik dan memiliki klasifikasi serta kualifikasi yang memenuhi kriteria namun karena nepotisme ini, maka ketidakadilan pasti terjadi. Bukan yang mampu lagi yang terpilih, tetapi dia yang akan dipilih apa nya siapa.
Saya mengenal cukup baik seorang Polisi berpangkat Kombespol. Ia pernah berkata pada Saya “kalau bagi sebagian orang, jabatan itu mahal, maka bagi saya jabatan itu susah” Ia mengatakan nya bukan tanpa alasan, karena ia sudah mengalaminya. Dalam cerita yang ia utarakan bahwa ditubuh Polri pun, masih terjadi yang nama nya beli jabatan, yang menjadi keharusan jika menginginkannya. Kita bisa membayangkan bagaimana ketidakadilan bisa terjadi dari akar kejahatan yang satu ini. Padahal pak Kombespol sejauh yang saya ketahui adalah Polisi cerdas, pintar dan berprestasi. Namun kenapa karir nya di situ-situ saja. Saya juga kenal dengan seorang Kepala Sekolah yang cerdas, pintar dan berprestasi, namun di non job akibat pergantian pemimpin di daerah itu. Padahal setahu saya, non job itu buat seseorang yang melakukan pelanggaran berat. Tapi
kenyataan tetap di non job sekalipun yang bersangkutan adalah seorang yang pantas di posisi itu. Yang lebih miris lagi, satu kasus yang pernah saya dan tim telusuri, terkait penerimaan calon perwira TNI. Kesaksian para peserta ini sungguh mengejutkan, sebab ada beberapa kejanggalan yang terjadi. Yang paling parah dari kesaksian mereka, bahkan peserta yang tidak memenuhi kriteria standar pun bisa lolos, hal ini dibuktikan dengan adanya bukti hasil tes yang menandakan tidak lolos tapi diloloskan. Dan hal ini sempat diprotes oleh beberapa peserta tes, padahal masih banyak yang lebih baik. Ada lagi seorang pemuda yang saya yakin ia seorang yang cerdas dan pintar, sebab yang bersangkutan pada saat mendaftarkan diri sebagai calon bintara Polri, masuk dalam 10 besar terbaik saat tes. Ironis nya, pemuda tersebut tidak bisa lanjut sebab diminta menyediakan uang dengan jumlah yang tidak sedikit, Ini sangat parah, bisa jadi putra dan putri terbaik bangsa akhirnya tergantikan oleh peserta lain yang bermodalkan kedekatan dikarenakan sesuatu yang bisa jadi itu adalah uang. Tentu ini menjadi kasus demi kasus ketidakadilan. Lagi-lagi kita sadar bhawa banyak hal perlu dibenahi.
Saya percaya tidak ada yang mustahil jika kita bersatu, bersama seluruh masyarakat yang masih punya visi dan misi, satu pemikiran dan satu pendapat untuk bersama-sama meruntuhkan sistem yang menciptakan ketidakadilan di Negara kita tercinta, secara khusus di sekitar kita dalam skup yang lebih kecil. Pertanyaannya, apa kah anda yang membaca tulisan ini salah satu dari kami? Mari kita bersatu, bersama kita bisa wujudkan keadilan dan melawan ketidakadilan.
Memang ketidakadilan bukan sesuatu yang mudah untuk dilawan dan dihancurkan, sehingga keadilan bisa ditegakkan, tetapi bukan berarti tidak bisa. Jika supremasi hukum dikembalikan pada hakekatnya, maka ketidakadilan bisa diruntuhkan.
-Supremasi Hukum
Apa itu supremasi hukum? Supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, maka hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara.
Jika tuntutan pada awal reformasi benar-benar bisa terpenuhi dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka niscaya ketidakadilan dapat diruntuhkan sehingga keadilan dapat tegak berdiri tanpa pandang bulu. Tidak Ada lagi statement “hukum tumpul ke atas, tajam Ke bawah” Hukum hanya tajam menusuk dan mengiris orang-orang di kalangan bawah tapi tidak untuk kalangan orang-orang atas. Mari mulai membiasakan diri kita pada hal-hal kecil yang sifatnya membela keadilan dan melawan ketidakadilan. Dimulai dari kehidupan bermasyarakat yang skup nya lebih kecil, seperti di tempat kita bekerja, lingkungan tempat tinggal kita dan lain sebagainya.
Oleh: Fianus Arung
Betul sekali