OpiniViral

“Hadiah yang Berubah Jerat: Ketika Negara Hukum Mati di Hadapan Modal”


Oleh: Fianus Arung

𝙐𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙣𝙚𝙬𝙨.𝙞𝙙, 🅞🅟🅘🅝🅘 – Di sebuah sudut penjara, seorang wanita bernama Agus Mariana menatap kosong dinding beton Lapas Perempuan Kota Kendari. Ya, hari ini Ia harus pasrah walau hati mengerang. Ia pernah jadi pekerja teladan di sebuah perusahaan tambang besar: PT WIN. Bertahun-tahun mengabdi, memeras tenaga, dan menyumbang untung miliaran rupiah bagi korporasi. Sebagai penghargaan, perusahaan memberinya hadiah: sebuah mobil.

Sebuah mobil — bagi kebanyakan orang tambang, ini bukan sekadar kendaraan. Ini simbol kepercayaan, loyalitas, dan balas jasa. Tapi di tangan hukum yang bengkok, mobil itu berubah wujud: dari hadiah jadi barang bukti penggelapan.



Hadiah yang Disulap Jadi Dosa

Apa yang sebenarnya terjadi?
Agus Mariana menerima mobil tersebut sebagai hadiah resmi — bukan sewa, bukan pinjam pakai. Rekan kerjanya tahu, atasannya pun tahu. Semua sepakat: ini bentuk apresiasi atas prestasi Agus Mariana membangun tim dan mendongkrak produktivitas tambang.

Tahun berganti, Agus mundur. Mobil itu tetap di tangannya — sebagaimana lazim di kalangan karyawan senior tambang yang pernah menerima reward serupa. Tak ada somasi, tak ada permintaan resmi penarikan, tak ada kompensasi balik.

Namun alih-alih diselesaikan secara perdata, PT WIN memilih jalan pintas: Agus Mariana dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggelapan aset. Ia pun dikriminalisasi. Tuduhan bergulir cepat — pasal disematkan, penjara menunggu. Upaya pra peradilan tak membuahkan hasil, walau bukti kepemilikan kuat dan sah secara hukum, namun hakim berkata lain. Proses penetapan tersangka dianggap tidak cacat prosedural. Cerita ini bagai seorang pemilik dua bola mata dan dua daun telinga namun pura-pura buta dan tuli demi sebuah pesanan pemilik modal.



Pesangon yang Dimenangkan, Tapi Tak Pernah Dibayar

Tak berhenti di situ. Agus Mariana juga menggugat pesangon — hak normatif yang seharusnya otomatis dibayarkan. Prosesnya panjang, berliku, hingga ke Mahkamah Agung.
Di puncak keadilan tertinggi, putusan tegas: PT WIN diwajibkan membayar pesangon Agus Mariana.

Tapi apa daya, putusan agung tetap hanya tinta di atas kertas. Perusahaan bergeming. Aparat pengadilan pun pura-pura tuli. Tidak ada eksekusi paksa. Tidak ada ketegasan. Agus yang menang di atas kertas, tetap kalah di jeruji besi.


Negara Hukum atau Negara Uang?

Indonesia sering membanggakan diri sebagai negara hukum. Konstitusi kita menegaskan: keadilan untuk semua, supremasi hukum di atas segalanya.
Tapi realitas di lapangan membisikkan kebenaran pahit: hukum sering kali hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Agus Mariana adalah contoh telanjang:

Hadiah jadi dosa.

Pesangon dimenangkan, tapi tak pernah cair.

Penjara menanti rakyat kecil yang membangkang.

Perusahaan besar menolak putusan MA tanpa sedikit pun gentar.


Ini bukan cerita satu orang. Ini gejala penyakit kronis: korupsi struktural.
Ketika hukum bisa dinegosiasikan, aparat bisa disuap, dan pengadilan bisa diabaikan, maka yang miskin akan tetap dipaksa tunduk — sementara yang kaya bebas merdeka.



Bayangan Saakashvili: Berani Pecat yang Membusuk

Lalu kita bertanya: adakah harapan?
Georgia, sebuah negara kecil pecahan Uni Soviet, pernah terjebak dalam jebakan korupsi birokrasi yang sama parahnya.
Presiden Mikheil Saakashvili menempuh jalan yang tak terpikirkan di republik manapun: memecat puluhan ribu polisi korup dalam semalam.
Ia bangun ulang institusi penegak hukum dari nol. Hasilnya dramatis: pungli hilang, aparat kembali dipercaya rakyat, hukum berjalan.

Tentu, Indonesia bukan Georgia. Tapi keberanian Saakashvili adalah cermin. Negara hukum hanya bisa lahir jika aparat penegaknya bersih, berani, dan tidak bisa dibeli.


Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kasus Agus Mariana harusnya jadi alarm:

Jika korporasi bisa membelokkan hadiah jadi jerat, maka siapa pun bisa dipenjara.

Jika putusan Mahkamah Agung pun bisa dicampakkan, lalu apa gunanya konstitusi?

Jika aparat tutup mata, lalu apa bedanya kita dengan negara gagal hukum?


Ini waktunya reformasi total. Bersihkan meja kejaksaan, kepolisian, pengadilan dari mafia hukum. Berani eksekusi tegas putusan perdata. Hukum harus setara bagi kaya dan miskin — kalau tidak, maka “negara hukum” hanya slogan di baliho.


Kita Tidak Boleh Diam

Agus Mariana kini mendekam di balik terali. Mobilnya disita, kehormatannya dicemarkan, keluarganya menanggung beban aib dan lapar.
Ia bukan koruptor. Ia bukan maling. Ia hanya korban kuasa modal yang membungkus penghargaan menjadi jerat pidana.

Jika kita membiarkan cerita Agus Mariana terkubur, maka esok akan lahir ribuan Agus Mariana lain.
Dan pada akhirnya, kita semua harus bertanya: maukah kita hidup di negara hukum? Atau kita rela hidup di negara uang?

Karena ketika hukum mati, maka siapa pun bisa dipenjara — kecuali yang punya kuasa membeli keadilan.

𝙒𝙧𝙞𝙩𝙚𝙧: 𝙁𝙞𝙖𝙣𝙪𝙨 𝘼𝙧𝙪𝙣𝙜

𝙄𝙣𝙛𝙤𝙧𝙢𝙖𝙨𝙞 𝙍𝙚𝙙𝙖𝙠𝙨𝙞:
𝙏𝙡𝙥. ⓿➑➋➊ ➒➏⓿➍ ➑➒⓿➎
𝙈𝙞𝙩𝙧𝙖𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖𝙪𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙣𝙚𝙬𝙨@𝙜𝙢𝙖𝙞𝙡.𝙘𝙤𝙢

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *