Aceng Syamsul Hadie: Legalitas Wartawan Diatur dalam UU Pers, Bukan oleh Dewan Pers

𝙐𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙣𝙚𝙬𝙨.𝙞𝙙, 𝙅𝙖𝙠𝙖𝙧𝙩𝙖 – Pernyataan salah seorang oknum Dewan Pers yang menyebutkan bahwa legalitas wartawan ditentukan melalui kepemilikan Sertifikat UKW (Uji Kompetensi Wartawan) atau SKW (Sertifikat Kompetensi Wartawan) yang dikeluarkan Dewan Pers, serta keanggotaan di organisasi wartawan dan perusahaan pers terverifikasi Dewan Pers, menuai polemik. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, wartawan kerap dicap ilegal, abal-abal, bahkan disebut “wartawan bodrek”
Narasi tersebut belakangan menjadi konsumsi publik dan seolah dibenarkan oleh sebagian pejabat daerah serta aparat penegak hukum (APH).

“Legalitas wartawan diatur dalam UU Pers, bukan ditentukan oleh Dewan Pers,” tegas Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM., Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Wartawan International (ASWIN) sekaligus Pemimpin Redaksi Media Jejak Investigasi.
Menurut Aceng, narasi keliru ini telah memicu perpecahan di kalangan insan pers nasional hingga saat ini. Tidak sedikit wartawan di luar konstituen Dewan Pers merasakan adanya perlakuan diskriminatif dari pemerintah daerah maupun APH.

“Perlu dikaji secara mendalam mengenai status wartawan menurut UU Pers No. 40 Tahun 1999 agar tidak terjadi kerancuan atau gagal paham,” tambahnya.
Aceng menegaskan, wartawan tidak wajib terdaftar di Dewan Pers. Berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999, tidak ada satu pun pasal yang mengatur kewajiban wartawan, perusahaan pers, maupun organisasi wartawan untuk terdaftar di Dewan Pers. Sebaliknya, sebagai lembaga yang menerima anggaran miliaran rupiah dari pemerintah, Dewan Pers justru berkewajiban mendata perusahaan pers dan organisasi wartawan di Indonesia.
Dengan demikian, wartawan tetap sah menjalankan tugas jurnalistik meskipun bekerja di perusahaan pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers.

Sebagai informasi, konstituen Dewan Pers hanya terdiri dari 11 organisasi wartawan, atau sekitar 20 persen dari total organisasi wartawan di Indonesia yang berjumlah 55. Sementara itu, 80 persen lainnya merupakan wartawan di luar konstituen Dewan Pers.
Terkait kompetensi wartawan, Aceng menjelaskan bahwa legalitas wartawan tidak ditentukan oleh sertifikat UKW atau SKW dari Dewan Pers. Kompetensi wartawan, menurutnya, adalah sarana untuk mengukur kemampuan wartawan dalam memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik.
Lembaga yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi kompetensi wartawan adalah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia di bawah otoritas Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikat yang sah diakui negara adalah yang berlogo Garuda, bukan logo lain yang tidak memiliki dasar hukum.
Ketentuan tersebut didukung oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta diawasi Ombudsman Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Lebih lanjut, Aceng menekankan bahwa dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, khususnya Pasal 1 dan Pasal 7, syarat menjadi wartawan adalah:
1. Menguasai keterampilan jurnalistik.
2. Mematuhi Kode Etik Jurnalistik.
3. Menjadi anggota organisasi wartawan yang berbadan hukum.
4. Memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) dan surat tugas dari perusahaan pers berbadan hukum.

“Dari penjelasan ini, diharapkan wartawan dari organisasi mana pun dan perusahaan pers apa pun dapat bekerja dengan baik, tanpa keraguan, serta tidak terjebak dalam isu dan narasi yang menyesatkan,” pungkas Aceng.***
𝙐𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙉𝙚𝙬𝙨_𝙅𝙖𝙠𝙖𝙧𝙩𝙖
𝙎𝙤𝙪𝙧𝙘𝙚_𝘼𝙘𝙚𝙣𝙜 𝙎𝙮𝙖𝙢𝙨𝙪𝙡 𝙃𝙖𝙙𝙞𝙚
𝙀𝙙𝙞𝙩𝙤𝙧_𝙎𝙞𝙧𝙖
𝙄𝙣𝙛𝙤𝙧𝙢𝙖𝙨𝙞 𝙍𝙚𝙙𝙖𝙠𝙨𝙞:
𝙏𝙡𝙥. 0821 9604 8905
𝙈𝙞𝙩𝙧𝙖𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖𝙪𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙣𝙚𝙬𝙨@𝙜𝙢𝙖𝙞𝙡.𝙘𝙤𝙢