Opini

Siapa yang Tidak Tau Aturan

π™π™‰π™šπ™¬π™¨ – πŸ…žπŸ…ŸπŸ…˜πŸ…πŸ…˜ – Bertahun-tahun sejak UU No 40 Tahun 1999 tentang pers disahkan di Jakarta, pada Tanggal 23 September 1999 oleh Presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai wujud nyata era baru demokrasi, namun ironis sebab masih banyak oknum sekelas hakim, jaksa bahkan polisi sebagai praktisi hukum yang menciderai amanat undang-undang tersebut. Miris memang melihat hakikat seorang praktisi hukum utamanya hakim yang semestinya menegakkan keadilan namun sebaliknya melawan keadilan.

Semua profesi di negara ini tentu memiliki rules atau aturan, kode etik serta pedoman yang berbeda-beda dalam mengemban tanggungjawab di dalamnya. Melanggar aturan dan pedoman dalam sebuah profesi, ibarat seseorang dengan sengaja menciderai tubuhnya sendiri. Hal ini tentu bukan sesuatu yang logis dalam realita kehidupan.

Di jaman modern dan era digital seperti sekarang, hampir segala sesuatu dapat kita akses hanya dengan handphone melalui jaringan internet. Termasuk berbagai peraturan perundang-undangan, berbagai kode etik beragam profesi bahkan profesi sebagai hakim yang mulia dimata hukum pun dapat kita lihat didalam karya-karya tulis seperti artikel yang banyak kita temukan di internet. Semisal tulisan kali ini, yang mana didalamnya akan kita bahas terkait profesi para praktisi hukum yakni polisi, jaksa, dan hakim. Bagaimana seharusnya mereka bertindak memutuskan segala perkara dengan berpedoman kepada undang-undang berasaskan keadilan dan bukan malah sebaliknya.

Saya mengajak kita untuk membahas satu kasus dari sekian banyak kasus di negara ini terkait sengketa pers. Yang masih segar di ingatan baru-baru ini terjadi di Sulawesi Tenggara, dan menjadi perhatian berbagai kalangan, dimana hal tersebut menimpa Sdr Endran dan Aras Moita. Kedua rekan saya ini merupakan warga masyarakat yang berprofesi sebagai jurnalis, dimana kesehariannya adalah berburu berita. Namun sayang apa yang mereka alami dengan kasus pers, diduga adalah konspirasi para oknum dalam upaya membungkam demokrasi, sungguh ironi yang memilukan. Mengikuti perjalan kasus ini dari awal hingga putusan pengadilan dikeluarkan, saya menilai bahwa benar konspirasi jahatlah yang sudah terjadi dan mereka alami. Parahnya semua itu terjadi dihadapan para penegak hukum yang seharusnya menjadi penegak keadilan.

“Siapa yang tidak tahu aturan” Kalimat ini adalah judul yang saya berikan untuk tuliasan saya kali ini. Judul yang juga merupakan pertanyaan yang ditujukan buat kita semua. Tentu di akhir dari bacaan ini anda akan membuat kesimpulan dan sebuah jawaban dari perspektif kita masing-masing. Namun dalam konteks kasus Endran dan Aras, kitapun harus nya bisa jujur menilai tidak dengan perspektif liar namun dengan memakai kacamata segala peraturan perundang-undangan sebagai supremasi hukum yang wajib kita taati. Sebab berbicara praktisi hukum, tentu identik dengan penegak keadilan.

Kita akan “iris tipis-tipis” dan bongkar satu persatu dimulai dari dimana cerita ini berawal.
Bermula ketika Aras Moita sebagai salah satu warga Desa Tanjung Laimeo yang menduga adanya praktek korupsi yang saat itu dilakukan oleh Kepala Desa Tanjung Laimeo, Abidin yang kebetulan menjabat.
Endran yang menerima informasi atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut kemudian menayangkan berita dugaan korupsi yang dilakukan oleh Abidin, yang mana saat itu Aras Moita adalah narasumber berita nya. Jika mengacu kepada undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 Bab I Ketentuan Umum Pasal I ayat 10 bahwa wartawan memiliki hak tolak untuk tidak membocorkan nama atau identitas darimana sumber berita berasal, dalam kasus ini seolah ada intervensi pihak lain hingga identitas narasumber terungkap. Yang saya dengar saat kasus ini bergulir, Endran akhirnya mengungkapkan identitas narasumber sebab ada desakan. Hal ini menjadi pertanyaan kenapa bisa nama Aras Moita terungkap sebagai narasumber yang juga akhirnya terseret menjadi tersangka. Bukankah wartawan punya hak tolak sesuai UU pers? Siapapun yang menangani kasus Endran jika tau aturan, tidak akan pernah bertanya saat Endran tidak bersedia memberi tau siapa yang menjadi narasumber berita.

Perlu diperhatikan, jelas bahwa Endran adalah jurnalis yang secara hukum, menurut undang-undang pers No 40 Tahun 1999 adalah wartawan yang sah dan menjalankan tugas jurnalistik dibawah perusahaan media yang berbadan hukum dan telah dipastikan kelegalannya melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Repoblik Indonesia (Kemenkumham RI) bahwa Endran selaku Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Yang mana hal ini tertuang dalam undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 BAB II pasal 5 ayat 1
Jadi sampai di sini clear, kalau kita tau aturan maka terkait tugas seorang Endran yang merupakan jurnalis tidak perlu disanksikan lagi.

Sejauh ini pembahasan kita, seharusnya nama Aras Moita tidak bisa dilibatkan dalam kasus ini sebab ia hanya seorang narasumber yang sebenarnya dilindungi keberadaannya bahkan seharusnya dirahasiakan identitasnya sesuai undang-undang. Hal inipun terbukti ketika Pengadilan Negeri Unaaha memutuskan dirinya tidak bersalah kendatipun ia ikut merasakan pahit nya berada dibalik jeruji besi Rutan Unaaha. Lalu siapa yang bisa kita salahkan? Tentu ada oknum yang harus bertanggungjawab. Sampai di sini makin jelas siapa yang tidak tau aturan.

Abidin, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Tanjung Laimeo, memang tidak terima atas pemberitaan yang ditulis Endran. Menariknya adalah ketika pada Kamis 7 Desember 2023, didalam ruangannya, Inspektur Arjuna mengungkap hasil Pensus di Desa Tanjung Laimeo ada temuan sebesar Rp400.000.000,00- namun sebagaian sudah dikembalikan. Dan yang belum di kembalikan sebesar Rp193.000.000,00- temuan ini sekaligus membuktikan bahwa benar ada tindak pidana korupsi.

Jika melihat track record di media online terkait sosok mantan Kades Tanjung Laimeo, kita akan banyak menemukan berita-berita negatif yang diarahkan kepada Abidin. Salah satu nya adalah pemberitaan yang akhirnya menjadi delik hingga Endran penulis berita, bersama Aras Moita sebagai narasumber berita, akhirnya menjadi tersangka dengan kasus sengketa pers, yang mana UU ITE menjadi dalilnya, sebab menurut oknum praktisi hukum yang menangani kasus ini, Endran dan Aras Moita mencemarkan nama baik sang Kepala Desa.

Menurut saya ini sesuatu yang keliru. Karena kasus Endran, Aras merupakan sengketa pers, sebabnya kitapun harus menjadikan undang-undang pers sebagai rujukannya. Dari awal kasus ini bergulir seharusnya para praktisi hukum mulai dari Polisi yang menerima laporan sampai kepada oknum hakim yang memutuskan perkara, wajib memakai undang-undang No 40 Tahun 1999 ini sebagai dasarnya.

Saat itu Abidin yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh penulis berita, ia lalu membuat pengaduan ke Polres Konawe Utara dengan dasar dugaan pelanggaran undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) hingga terjadilah kebodohan, kedunguan, ketololan yang pertama yang dilakukan oleh pihak oknum kepolisian yang menerima mentah-mentah aduan tersebut tanpa mencermati, memeriksa, dan menganilisa aduan tersebut.

Kebodohan oknum penyidik berlanjut saat kasus ini akhirnya maju ketahap selanjutnya dari penyelidikan ke penyidikan. Jadi pertanyaan adalah, penyelidikan seperti apa yang dilakukan oleh oknum Polisi dalam mengumpulkan bukti sehingga kasusnya naik status ke penyidikan kemudian menjadikan penulis berita/wartawan bersama narasumber nya sebagai tersangka. Padahal jika oknum penyidik yang menangani kasus ini tau aturan dan sadar akan kode etik penyidik Polri seperti yang tertuang didalam Kode Etik Profesi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, BAB I Ketentuan Umum Pasal I ayat 5 bahwa penyidik harus menegakkan hukum sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Jika oknum penyidik tau aturan maka ia akan menggunakan undang-undang pers No 40 Tahun 1999 Tentang Pers dalam penanganan kasus pers. Hal ini jelas tertuang dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 BAB I Ketentuan Umum Pasal I ayat 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sebab yang menjadi dasar menjadikan Endran dan Aras sebagai tersangka menurut oknum penyidik adalah UU ITE tentang pencemaran nama baik. Padahal berkali-kali Mabes Polri melalui pejabat-pejabatnya telah menyampaikan bagaimana seorang jurnalis karena produk pers yang sah, tidak bisa dipidanakan. Yang terbaru disampaikan oleh Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komjen Pol Agus Andrianto mengingatkan seluruh pihak bahwa produk jurnalistik yang diproduksi lewat mekanisme jurnalisme yang sah dari perusahaan pers legal, tidak dapat dibawa ke ranah pidana. Senin 11 maret 2024 dengan begitu bukankah oknum polisi yang menangani kasus pers Endran terbukti tidak menaati pimpinannya apalagi sekelas Wakapolri.

Belakangan diketahui ada statemen oknum praktisi hukum yang mengatakan bahwa berita online yang link beritanya di upload di media sosial tidak dianggap sebagai karya jurnalis yang sah sebab katanya “wartawan atau perusahaan Pers tersebut harus berafiliasi dengan platform media sosial dimana link berita di upload” Sayapun tidak tau aturan darimana yang dipakai para oknum praktisi hukum ini, mungkin mereka sudah buat undang-undang sendiri, padahal jika oknum penyidik membaca dan belajar serta paham undang-undang sebagai supremasi hukum serta mengamalkan kode etik profesi penyidik Polri, maka kasus pers tidak akan pernah dipidanakan. Di atas, saya sengaja mencetak miring kata “segala jenis saluran yang tersedia” Artinya wartawan bisa dengan bebas menyalurkan karya-karya nya lewat sarana apapun termasuk Facebook sebab yang di upload adalah link berita kemudian akan menuntun pembacanya ke website resmi perusahan media. Sampai di sini pasti anda juga tau siapa yang tidak tau aturan. Seharusnya para oknum yang bekerja dengan gaji dari uang rakyat namun tidak menjalankan aturan sesuai undang-undang, maka baiknya di pecat saja. Saya rasa kata “tolol” terlalu sopan untuk oknum praktisi hukum yang mengorbankan keadilan mungkin demi sesuatu yang kita tidak pernah tau.

Kita lanjut ke oknum Jaksa. Kenapa saya katakan kasus Endran adalah sebuah konspirasi jahat, karena tidak perlu sekolah tinggi untuk mengetahui kalau profesi Jaksa adalah sebuah profesi dengan ilmu pengetahuan tentang hukum yang mumpuni. Untuk bisa menjadi seorang Jaksa, setahu saya harus berlatar belakang pendidikan Sarjana Hukum, dengan kata lain orang tersebut pasti paham hukum. Jika kita berfikir dengan logis, kenapa oknum jaksa yang menerima pelimpahan kasus Endran tidak mempertanyakan mengapa kasus sengketa pers bisa masuk ke ranah pidana. Padahal jelas dalam undang-undang pers No 40 Tahun 1999 BAB II asas, fungsi, hak dan kewajiban pers pasal 4 ayat 1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Isi undang-undang nya sangat jelas bukan.

Apakah ketika para oknum praktisi hukum ini saat mengetahui bahwa kasus yang mereka tangani adalah kasus pers dan harus berpedoman pada UU pers, apakah mereka pura-pura bodoh? Atau memang bodoh? Jelas para oknum tersebut tidak tau aturan. Semua hal ini tentu jadi pertanyaan bagi kita. Sudah saat nya mafia hukum juga harus di telanjangi. Rahasia umum jika banyak kasus merupakan kasus-kasus pesanan a, b atau c. “yang penting dia di penjara pak” Kalimat ini pernah saya dengar dengan telinga sendiri dan merupakan rahasia umum.

Bagian akhir pembahasan ini, kita ke oknum hakim yang mulia, disebut yang mulia sebab digambarkan sebagai wakil Tuhan dalam memberikan keadilan. Tidak mudah bagi hakim mengemban tanggungjawab yang begitu besar, sebab apa yang ia putuskan dalam sebuah perkara adalah berkaitan dengan masa depan kehidupan seorang terdakwa atau yang menentukan nasib mereka. Tentu dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai seorang hakim didalam profesi nya, ada kode etik yang harus ditaati, misalnya pada Pasal 5 huruf d, tentang kewajiban dan larangan Kode Etik Profesi Hakim, yakni Memutus perkara, berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan. Pasal 4 sikap hakim huruf d. Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentations of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controleerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggung-jawabkan (account ability) guna menjamin sifat keterbukaan (trans parancy) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan. Lalu dimana semua pengetahuan hukum dan pengalaman penanganan perkara oleh oknum hakim yang memutus pekara kasus Endran. Bukankah undang-undang sebagai supremasi hukum? Apakah oknum hakim tersebut mempelajari kasusnya? Undang-undang terkait kasusnya? Apakah sang hakim memeriksa berkas kasus Endran sesuai kode etik profesi hakim? Saya tidak yakin pada oknum hakim yang memeriksa kasus Endran ia paham aturan dan perundang-undangan. Apakah oknum hakim tersebut sudah membaca undang-undang tentang pers? Jika berhadapan dengan oknum hakim tolol dan dungu seperti itu, sungguh banyak pertanyaan yang ingin saya ajukan. Dalam kesempatan ini, saya mengundang sang oknum hakim untuk berdebat tentang hukum terkait penanganan kasus pers. Tidak perlu kuliah hukum terlebih dahulu untuk mampu memberikan kuliah umum terkait penanganan kasus pers pada oknum hakim yang saya ragukan integritas nya. Ini sangat parah dan menjadi ajang pembungkaman terhadap nilai-nilai demokrasi. Para oknum praktisi hukum bodoh yang menangani kasus Endran mencari-cari alasan hukum diluar dari peraturan perundang-undangan. Mereka katakan alasan menjatuhi hukuman pada Endran seorang jurnalis sebab tidak terdaftar di Dewan Pers, sementara Ketua Dewan Pers walau berkali-kali berganti orang, tetap konsisten menyampaikan bahwa perusahaan media tidak wajib terdaftar atau terdata di Dewan Pers untuk menjadi sah, asal perusahaan media telah berbadan hukum maka itu sah sebagai perusahaan pers, dan semua wartawan yang tergabung didalamnya adalah wartawan yang legal. Apa yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers dari generasi ke generasi tersebut telah sesuai undang-undang pers No 40 Tahun 1999 Namun menurut saya yang pantas mendapat sanksi pidana adalah para oknum praktisi hukum yang menangani kasus Endran. Mulai dari oknum polisi, jaksa dan hakim. Tentu saya mengatakannya bukan tanpa dasar, sebab sangat jelas didalam undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 tentang pers dikatakan pada pasal 18 aya 1 Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Bukankah para oknum tersebut telah dengan sengaja melawan hukum dengan berusaha membungkam demokrasi yang seharusnya kita jaga? Bukankah para oknum itu sangat nyata dengan sengaja telah melakukan upaya menghalangi, menghambat para wartawan?

Sampai diakhir pembahasan kita, tentu anda sudah tau siapa yang tidak tau aturan. Kami bersama rekan-rekan yang ikut berjuang memperhatikan hak-hak para jurnalis akan melakukan upaya hukum, mungkin dengan langkah melaporkan para oknum praktisi hukum ini dengan dasar telah melanggar kode etik profesi masing-masing. Kamipun sebagai wartawan tidak luput dari melanggar kode etik sebagai jurnalis, namun kami tau dan paham bagaimana penanganannya jika seorang jurnalis melanggar kode etik. Yang pasti bukan dikurung didalam penjara.

π™Šπ™‘π™šπ™: π™π™žπ™–π™£π™ͺ𝙨 π˜Όπ™§π™ͺπ™£π™œ

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *