Ketika Hukum Dibeli dan Rakyat Dijual: Catatan Kritis Seorang Anak Sultra

Oleh: Fianus Arung
ππ§ππππ£πππ¬π¨.ππ, π
π
π
π
π
– Aku lahir dan dibesarkan di tanah yang kaya: Sulawesi Tenggara. Kaya akan tambang, hutan, dan laut β tapi juga, sejak dulu hingga kini, kaya akan ironi. Kekayaan alamnya menyuburkan kerakusan, bukan kesejahteraan. Aku menyaksikannya sejak kecil, lalu membawanya sebagai keresahan ketika merantau ke Jakarta.
Pada tahun 2001 aku merantau ke Jakarta, dan sekitar tahun 2007, pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), walaupun belum bergabung kala itu karena satu dan lain hal. Saat itu, aku hanya pekerja di rumah produksi, yang membuat film edukasi. tapi dengan semangat yang menggebu ingin menjadi jurnalis profesional. Aku bukan semata ingin mengejar profesi, tapi ingin menjadi saksi, bahkan jika perlu, juru bicara bagi mereka yang selama ini suaranya ditelan sistem: warga kecil yang ditindas oleh kuasa hukum yang korup.

Hukum dalam Cengkraman Mafia: Investigasi Sosial yang Tak Pernah Selesai
Setelah kembali ke kampung halaman, aku melihat bahwa luka-luka sosial yang kupikir sudah membaik ternyata makin bernanah. Hukum yang seharusnya melindungi rakyat, justru dikomodifikasi oleh para oknum yang bermain sebagai mafia hukum. Mereka menyatu dalam jaring-jaring kekuasaan dan birokrasi, menjadi alat untuk memperkuat ketidakadilan.
Tak sedikit masyarakat datang mengadu: dipaksa mengaku, ditetapkan sebagai tersangka tanpa dasar, bahkan dipenjara karena melawan perusak lingkungan yang dibeking aparat. Banyak yang akhirnya menyerah karena mereka sadar: berperkara dengan mafia hukum seperti memegang api, tanpa sarung tangan kekuasaan.

Ilmu Pengetahuan Bicara: Hukum Itu Ilmu Sosial, Bukan Alat Kuasa
Dalam teori sosiologi hukum, seperti dijelaskan oleh Eugen Ehrlich, hukum yang hidup (living law) adalah hukum yang berkembang dalam masyarakat, bukan semata-mata hukum yang tertulis dalam kitab undang-undang. Sayangnya, di negeri ini, hukum yang tertulis pun seringkali hanya berlaku pada kertas, tidak di lapangan.
Contoh nyata bisa kita lihat pada penegakan hukum di sektor pertambangan. Banyak perusahaan tambang ilegal yang tetap beroperasi bebas karena memiliki ‘kedekatan’. Padahal, dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, setiap aktivitas penambangan harus dilengkapi IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) yang sah. Tanpa itu, semua kegiatan adalah ilegal dan seharusnya ditindak tegas.
Tapi nyatanya, hukum bisa berubah wajah tergantung siapa yang menghadapinya.

Undang-Undang Diperdagangkan, Rakyat Diperalat
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Namun, bagaimana mungkin masyarakat percaya pada keadilan jika hukum bisa diperjualbelikan seperti barang di pasar gelap?
Aku dan rekan-rekan mendirikan PEKA (Pemerhati Kalangan Bawah) bukan sekadar sebagai wadah advokasi, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang sudah terlalu lama dimonopoli oleh para pemangku kepentingan yang bermental preman. PEKA hadir sebagai ruang perlawanan sipil β bukan dengan kekerasan, tapi dengan pendampingan hukum, edukasi, dan keberanian berbicara.
Kami tidak dibayar, tidak punya kekuatan senjata, tapi kami punya satu hal: hati yang masih peduli pada mereka yang terluka oleh sistem.
Kami Melawan karena Kami Peduli
Sebagian orang mungkin berkata, “Untuk apa melawan? Sudah biasa hukum dikuasai yang kuat.” Tapi kami menolak untuk terbiasa. Karena kalau kita diam, maka ketidakadilan akan menjadi budaya.
Kami telah dampingi pemilil lahan yang dituduh mencuri tanah sendiri, aktivis lingkungan yang dijebak kasus, warga yang mengadu identitasnya dipakai orang tanpa persetujuan namun oknum polisi berkata “tidak ada unsur pidana.” Semua itu nyata, dan semua itu adalah bentuk pembusukan sistemik.

Penutup: Suatu Hari, Hukum Akan Diadili
Saya percaya, suatu saat hukum akan kembali ke marwahnya. Tapi itu tak akan terjadi kalau kita semua diam. Sebab, keadilan tidak datang dengan sendirinya β ia diperjuangkan.
Selama bangsa ini masih punya ruang gelap tempat hukum dibarter dengan amplop dan jabatan, maka selama itu pula PEKA akan berdiri. Dan saya, Fianus Arung, tidak akan berhenti melawan β bukan karena saya kuat, tapi karena masyarakat yang saya temui terlalu lemah untuk dibiarkan berjuang sendiri.
> Benar harus benar, salah tetap salah β tak peduli siapa yang berdiri di baliknya.
Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat yang merasa terjajah di negara yang telah merdeka, negara kita Indonesia. Mari bergabung bersama PEKA!
Gabung Gratis!
Syarat: Bersedia dengan sukarela saling dukung sesama warga.
ππ§ππππ£πππ¬π¨_π
π
π
π
π
πππ£πͺπ‘ππ¨: ππππ£πͺπ¨ πΌπ§πͺπ£π, πππ©πͺπ ππππΌ, πππ©πͺπ πΌπ¨π€π¨πππ¨π πππ§π©ππ¬ππ£ ππ£π©ππ§π£ππ¨ππ€π£ππ‘ (πΌπ¨π¬ππ£)
ππ£ππ€π§π’ππ¨π πππππ π¨π:
ππ‘π₯. 0821 9604 8905
πππ©π§π πππ§π¨ππ’ππͺπ§ππππ£πππ¬π¨@ππ’πππ‘.ππ€π’